ShanVrolijk on DeviantArthttps://www.deviantart.com/shanvrolijk/art/My-Death-654924937ShanVrolijk

Deviation Actions

ShanVrolijk's avatar

My Death.

By
Published:
289 Views

Description

krita

Kematianku.
Sudah lama aku ingin menggambar kematianku sendiri.
Ada satu saat dalam hidupku aku bertanya, kenapa jin mengambil bentuk jenazah orang mati sebagai perwujudannya yang paling seram? Itu karena manusia takut kematian.

Di dalam sana, aku akan sendirian saja. Tidak ada suara, tidak ada apa-apa. 
Tidak ada keluarga.
Tidak ada laptop dan wifi.
Tidak ada buku-buku dan film.
Tidak ada pelukan dan kehangatan.
Apa kamu pernah membayangkan suatu saat nanti kamu tidak akan bernafas.
Apa kamu pernah membayangkan betapa mewahnya oksigen yang kamu hirup.
Apa kamu tahu betapa berharganya sinar matahari yang menghangatkan tengkukmu?

Dalam proses menggambar kematianku sendiri, aku tergoda untuk sebaik mungkin menampilkan wajahku.
Aku tahu ini absurd. Kematian tidak bekerja dengan cara seperti itu: kita tidak pernah tahu akan mati dan berakhir seperti apa.
Meski seharusnya sudah jelas untukku bahwa kematian tidak menyisakan kecantikan, aku masih tergoda untuk menampilkan diriku cantik, dengan kulit merona. Padahal aku tahu, kematian itu tidak menyisakan kecuali kulit yang makin membiru, nanti juga akan lenyap. Bukan lagi selongsong kulit dan seonggok daging, tapi tinggal tulang belulang.

Aku juga tergoda menggambarkan bunga-bunga... seperti yang digunakan dalam prosesi kematian sebagian agama. Bunga-bunga selalu manis untuk dikenang. Tapi apakah aku membutuhkan bunga dalam kematianku? Tidak. Dan bukan dalam tradisi agamaku untuk meletakkan bunga dalam kubur seseorang, kecuali kelopak bunga yang sudah didoakan. Bunga juga tidak bisa bertahan lama. Kamu pernah mencium bunga yang mengering dengan alami? Baunya sungguh memuakkan, bau manis yang mati.

Aku bahkan tergoda untuk menggambarkan baju yang ingin suka kupakai, juga tergoda untuk memperlihatkan rambutku (yang menurutku indah). Semenjak memakai jilbab, kadang-kadang aku ingin menunjukkan aku yang tanpa jilbab. Itu adalah ego. Nafsu yang menginginkan satu jenis identitas--yang tanpa identitas itu, ego akan terus kelaparan. Tapi saat aku menggambarnya, aku sadar tidak akan ada yang melihatnya lagi. Aku sangat sedih karena, dalam setiap tarikan kuas, aku tahu aku tidak mungkin terlihat cantik dalam kematian. Tidak ada rambut dan bajua, tidak ada rona pipi merah, tidak ada bibir yang kemerahan. Kecantikan tidak berguna di alam kubur. Kecantikan itu hanya selongsong kulit. 

Dalam proses menggambarkan kematianku sendiri, aku sadar tidak ada orang yang akan mengikutiku masuk dalam kubur ini. Aku sadar, narasi cinta pertama yang selalu kusukai dan kugunakan untuk mengiris hatiku sendiri, tidak berguna di sini. Adakah cacing yang akan bertanya: siapa orang yang paling kau cintai di dunia? Kalau si cacing cukup religius, dia akan bertanya: apakah akhirnya si X mendoakanmu di atas kuburmu? Apa dia berdoa untukmu? Jawaban yang kupikirkan adalah tidak. Aku tidak tahu, tapi sangat mungkin juga dia tidak akan mendoakanku. Aku juga yakin dia tidak 'mencintaiku', seperti aku 'mencintainya'. Dunia ini hanya mempertemukan kita dengan mekanisme, selanjutnya mau kamu apakan mekanisme itu. Seperti apa reaksimu terhadap mekanisme itu?

Ngomong-ngomong soal cinta, inilah yang bikin aku terbahak. Di depan kematian, masih bisa-bisanya aku memikirkan konsep cinta yang dibentuk oleh tatanan masyarakat. Apa kalian nggak pernah ngerasa lucu dengan konsep cinta pertama, cinta dalam pandangan pertama, cinta kedua, cinta sampai-mati-meskipun-memang-harus-beneran-mati? Itu konsep lucu banget (dalam pikiran). Lucunya, setelah tahu bahwa cinta sebagian besar hanya berupa konstruksi sosial yang diada-adakan selama beribu abad, aku masih menginginkan mempercayai konsep tertentu yang konyol. Betapa kuatnya dongeng mengenai cinta, hingga di depan kematianpun aku masih memikirkannya. Padahal dalam kematian, semua itu tidak relevan, semua dinihilkan begitu saja.

Dalam menuliskan ini semua, semua hipotesis tentang kematianku, tengkukku terasa panas, kakiku dingin, dan hatiku cemas. Aku tahu mengapa aku merasa cemas: aku tahu persis aku belum siap untuk kematian. Semua mimpiku, semua cita-citaku, masih berkaitan erat dengan kehidupan duniawi saja. Aku belum mengkalkulasi, seperti hal yang benar-benar dibutuhkan diriku yang dalam kubur nanti.

Aku dan ego duniawiku
Semestinya takluk di depan kematian.
Image size
4724x4724px 2.75 MB
© 2017 - 2024 ShanVrolijk
Comments0
Join the community to add your comment. Already a deviant? Log In